Sunday

Gender

Konsep gender pertama kali dikemukakan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Kemudian Ann Oakley (1972) mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia (Wulan, 2001). Sedangkan menurut Sudrajat (1999), gender adalah kategori sosial (feminim dan maskulin) yang tercermin dalam perilaku, keyakinan dan organisasi sosial (Susmanto, 2005).

Perlu difahami disini bahwa gender itu tidak sama dengan 'seks', karena para ahli menggunakan kata 'seks' mengacu pada atribut laki-laki dan perempuan secara anatomi biologis, sedangkan gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Istilah 'seks' umumnya digunakan untuk merujuk pada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (Umar, 2000)

Sebagai contoh sederhana, secara budaya masyarakat menkonstruksi gender seseorang menjadi laki-laki yang berperan di wilayah publik atau seseorang menjadi wanita yang berperan di wilayah domestik.

Konstruksi masyarakat ini tidak lepas dari sosialisasi yang dilakukan oleh agen sosialisasi di masyarakat tersebut seperti keluarga, teman, guru, media masa, negara, buku sekolah dan sebagainya. Menurut Zelditch (dalam Eshleman, 1985), anak laki-laki diharapkan oleh nilai budayanya untuk lebih agresif, atletis, berkonsentrasi kepada karir dan sebagainya yang dalam istilah sosiologi disebut 'instrumental role'. Sedangkan perempuan diharapkan lebih perasa, ekspresif dan emosional, yang secara sosiologis disebut dengan 'expressive role'.

Dan hal ini dimulai ketika anak-anak belajar tentang peranan gender dari keluarga, yaitu sewaktu anak laki-laki diberikan senjata mainan sedangkan perempuan diberikan boneka. Lalu ketika mereka memasuki sekolah, mereka akan melihat bahwa anak laki-laki akan mendapat teguran yang lebih tegas dibandingkan anak perempuan sewaktu mereka berbuat salah. Dan hal ini juga terjadi di buku-buku sekolah dimana ayah digambarkan bekerja di luar rumah dan ibu menunggu di rumah. Termasuk iklan-iklan media massa, dimana iklan rokok didominasi oleh pria sementara iklan sabun cuci didominasi oleh wanita.

Terlepas dari beberapa akibat negatif yang disebutkan oleh para ahli dari proses sosialisasi gender tersebut, seperti marjinalisasi perempuan ataupun subordinasi, hal paling penting adalah kesadaran menjalankan fungsi dan peran masing-masing yang dibingkai oleh keadilan gender. Tidak ada salahnya berperan menjadi seorang ibu ataupun istri yang bekerja di rumah dalam rangka menjalankannya kewajibannya namun demikian peranan tersebut diseimbangkan dengan hak-haknya seperti mendapatkan nafkah dan penghormatan dari suaminya.

Pustaka :

(1) Pengantar Sosiologi. Parwitaningsih. 2007.
(2) Sistem Sosial Budaya Indonesia. Haryanto dkk. 2009.

Semoga Bermanfaat.

No comments:

Post a Comment